Rabu, 09 September 2009

KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH (LKPD) TA 2008 KEPADA BPK TIDAK TEPAT WAKTU

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 297 ayat (2) yang menyatakan Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 ayat (2) disampaikan oleh kepala daerah kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk dilakukan pemeriksaan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.

Untuk Penyampaian LKPD kepada BPK harus terlebih dahulu dilakukan review oleh Inspektorat/Bawasda dari Pemda setempat atas Laporan Keuangan dan Kinerja dalam rangka meyakinkan keandalan informasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah Pasal 33 Ayat (3). Namun pada faktanya hampir 85 % Pemda di seluruh Indonesia menyerahkan LKPD ke BPK tidak tepat waktu dan ada yang masih dalam proses review atau bahkan belum direview oleh Inspektorat/Bawasda sama sekali.


LKPD
terdiri dari atas 4 (empat) bagian laporan, yaitu Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Pejabat yang bertanggung jawab menyusun LKPD di masing-masing Pemda adalah Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD). PPKD adalah kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah (SKPKD) yang bertugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai bendahara umum daerah (BUD). Berdasarkan nomenklatur yang berlaku pada TA 2008, PPKD/BUD dalam hal ini adalah Kepala Biro Keuangan Sekretariat Daerah (Setda) untuk Provinsi, Kepala Bagian (Kabag) Keuangan Setda untuk Kota/Kabupaten. LKPD yang telah disusun oleh PPKD kemudian disampaikan kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

Pemerintah daerah yang tidak tepat waktu dalam penyerahan LKPD tersebut berimplikasi pada mundurnya pemeriksaan yang dilakukan BPK. Padahal Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK ini semestinya dijadikan acuan pada saat Pemda melakukan Perubahan APBD/APBD-P (Anggaran Belanja Tambahan=ABT) diantaranya terkait Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) setelah diaudit BPK ataupun hasil audit yang kemungkinan mengakibatkan perlu adanya pergeseran anggaran ataupun bahkan perkembangan yang terjadi sudah tidak sesuai asumsi Kebijakan Umum APBD (KUA). Sedangkan Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran kecuali dalam keadaan luar biasa. Keterlambatan pengesahan Perubahan APBD menjadikan penyerapan anggaran akhirnya menjadi rendah/dibawah target atau dengan kata lain banyak kegiatan dikhawatirkan tidak dapat selesai 100%.

Permasalahan keterlambatan penyusunan LKPD bermula adanya kewajiban PPKD menyusun LKPD dengan cara konsolidasi yaitu menggabungkan laporan-laporan keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Laporan keuangan (LK) dari masing-masing SKPD berisikan LRA, Neraca dan CaLK. Sebenarnya critical point keterlambatan penyusunan LKPD tersebut berada di SKPD karena ketergantungan LKPD pada Pemprov/Pemkab/Pemkot atas kompilasi dari puluhan atau bahkan ratusan SKPD yang masing-masing ada dibawah Pemda yang bersangkutan. Bisa dibayangkan, apabila ada beberapa SKPD yang lalai sehingga belum menyelesaikan Laporan Keuangan maka yang terjadi PPKD mengalami kendala dalam menyelesaikan LKPD. SKPD adalah perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/pengguna barang yang sesuai nomenklatur berbentuk Dinas, Badan, Sekretariat, Kantor, dll.

Hal-hal yang menjadi dasar penyebab penyampaian LKPD tidak tepat waktu dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) di SKPD khususnya yang menguasai system dan prosedur untuk pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan Permendagri No.59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam
    Permendagri
    ini dituntut kemandirian SKPD sebagai suatu entitas dalam mengelola dan mempertanggungjawabkan atas alokasi keuangan yang diterimanya sesuai Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD) dalam APBD. Di sisi lain SDM yang ada pada tiap SKPD sangat jauh dari yang diharapkan terutama dari segi kualitas SDM itu sendiri.
  2. Regulasi tentang pengelolaan untuk keuangan daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat tidak konsisten.
    Jika penyebab keterlambatan penyampaian LKPD diatas yang telah diuraikan bersumber dari internal Pemda maka penyebab
    yang tidak kalah pentingnya merupakan peranan Pemerintah Pusat. Menjadi tidak adil apabila segala kesalahan semua ditimpakan ke Pemda. Perlu diperhatikan, Pemda menjalankan apa yang menjadi hak dan kewajibannya dengan mematuhi peraturan yang telah digariskan Pemerintah Pusat. Namun Pemerintah Pusat tidak konsisten untuk membuat kebijakan. Dalam jangka waktu yang hampir bersamaan Pemerintah Pusat dapat menerbitkan regulasi baru untuk mengatur hal yang sama, sehingga Pemerintah Daerah akan mengalami kebingungan dan bekerja lebih keras untuk melakukan aplikasi regulasi tersebut dilapangan. Hal ini berakibat aplikasi-aplikasi yang dilakukan banyak yang tidak konsisten dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menyikapi faktor ketidaksiapan SDM yang ada, kiranya perlu dikaji kembali eksistensi SDM Pemda untuk lebih merekrut tenaga-tenaga akuntansi dan keuangan daerah untuk penerimaan CPNS daerah supaya SDM yang tersedia memang memiliki disiplin ilmu yang cocok dan dapat melakukan tugas, pokok dan fungi SDM tersebut untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah. Untuk kesulitan penerapan atas regulasi baru yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat, terlebih dahulu harus dilakukan kajian apakah kebijakan serta aplikasi di dalam regulasi tersebut dapat diterapkan secara langsung dan juga harus dikaji terlebih dahulu jangan sampai hal ini malah membingungkan bagi Pemda pada pengelolaan keuangan daerah

Jakarta, 10 September 2009